Selalu Ada Debu Dosa

  • 1

Dosa tak ubahnya seperti tiupan angin di tanah berdebu. Wajah terasa sejuk sesaat, tapi butiran nodanya mulai melekat. Tanpa terasa, tapi begitu berbekas. Kalau saja tak ada cermin, orang tak pernah mengira kalau ia sudah berubah.
Perjalanan hidup memang penuh debu. Sedikit, tapi terus dan pasti; butiran-butiran debu dosa kian bertumpuk dalam diri. Masalahnya, seberapa peka hati menangkap itu. Karena boleh jadi, mata kepekaan pun telah tersumbat dalam gundukan butiran debu dosa yang mulai menggunung.
Seorang mukmin saleh mungkin tak akan terpikir akan melakukan dosa besar. Karena hatinya sudah tercelup dengan warna Islam yang teramat pekat. Jangankan terpikir, mendengar sebutan salah satu dosa besar saja, tubuhnya langsung merinding. Dan lidah pun berucap, “Na’udzubillah min dzalik!
Namun, tidak begitu dengan dosa-dosa kecil. Karena sedemikian kecilnya, dosa seperti itu menjadi tidak terasa. Terlebih ketika lingkungan yang redup dengan cahaya Ilahi ikut memberikan andil. Dosa menjadi biasa.
Rasulullah saw. bersabda, “Jauhilah dosa-dosa kecil, karena jika ia terkumpul pada diri seseorang, lambat laun akan menjadi biasa.”
Dalam beberapa kesempatan, Rasulullah saw. mewanti para sahabat agar berhati-hati dengan sebuah kebiasaan. Karena boleh jadi, sesuatu yang dianggap ringan, punya dampak besar buat pembentukan hati.
Dari Anas Ibnu Malik berkata, “Rasulullah saw. menyampaikan sesuatu di hadapan para sahabatnya. Beliau saw. berkata: ‘Telah diperlihatkan kepadaku surga dan neraka, maka aku belum pernah melihat kebaikan dan keburukan seperti pada hari ini. Jika kalian mengetahui apa yang aku ketahui niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.’ Anas berkata, “Tidak pernah datang kepada sahabat Rasulullah suatu hari yang lebih berat kecuali hari itu.” Berkata lagi Anas, “Para sahabat Rasulullah menundukkan kepala-kepala mereka dan terdengar suara tangisan mereka.” (Bukhari & Muslim)
Sekecil apa pun dosa, terlebih ketika menjadi biasa, punya dampak tersendiri dalam hati, pikiran, dan kemudian perilaku seseorang. Repotnya, ketika si pelaku tidak menyadari. Justru orang lain yang lebih dulu menangkap ketidaknormalan itu.
Di antara dampak dosa yang kadang remeh dan tidak terasa adalah sebagai berikut: pertama, melemahnya hati dan tekad. Kelemahan ini ketika tanpa sadar, seseorang tidak lagi bergairah menunaikan ibadah sunah. Semuanya tinggal yang wajib. Nilai-nilai tambah ibadah menjadi hilang begitu saja. Tiba-tiba, ia menjadi enggan beristighfar. Sementara, hasrat untuk melakukan kemaksiatan mulai menguat.
Kedua, seseorang akan terus melakukan perbuatan dosa dan maksiat, sehingga ia akan menganggap remeh dosa tersebut. Padahal, dosa yang dianggap remeh itu adalah besar di sisi Allah ta’ala.
Di antara bentuk itu adalah ucapan-ucapan dusta. Awalnya mungkin hanya sekadar canda agar orang lain bisa tertawa. Tapi, ucapan tanpa makna itu akhirnya menjadi biasa. Padahal di antara ciri seorang mukmin selalu menghindar dari perbuatan laghwi, tanpa makna. Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (QS. 23: 1-3)
Seorang sahabat Rasul, Ibnu Mas’ud, pernah memberikan perbandingan antara seorang mukmin dan fajir. Terutama, tentang cara mereka menilai sebuah dosa. Beliau r.a. berkata, “Sesungguhnya seorang mukmin ketika melihat dosanya seakan-akan ia berada di pinggir gunung. Ia takut gunung itu akan menimpa dirinya. Dan seorang yang fajir tatkala melihat dosanya, seperti memandang seekor lalat yang hinggap di hidungnya, lalu membiarkannya terbang.” (HR. Bukhari)
Ketiga, dosa dan maksiat akan melenyapkan rasa malu. Padahal, malu merupakan tonggak kehidupan hati, pokok dari segala kebaikan. Jika rasa malu hilang, maka lenyaplah kebaikan. Nabi saw. bersabda, “Malu adalah kebaikan seluruhnya.” (HR. Bukhari Muslim)
Keempat, sulitnya menyerap ilmu keislaman. Ini karena dosa mengeruhkan cahaya hati. Padahal, ilmu keislaman merupakan pertemuan antara cahaya hidayah Allah swt. dengan kejernihan hati.
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i pernah menuturkan pengalaman pribadinya. Ketika itu, ulama yang biasa disebut Imam Syafi’i ini merasakan adanya penurunan kemampuan menghafal. Ia pun mengadukan hal itu ke seorang gurunya yang bernama Waqi’. Penuturan itu ia tulis dalam bentuk untaian kalimat yang begitu puitis.
Aku mengadukan buruknya hafalanku kepada Waqi’
Beliau memintaku untuk membersihkan diri dari segala dosa dan maksiat
Beliau pun mengajarkanku bahwa ilmu itu cahaya
Dan cahaya Allah tidak akan pernah menembus pada hati yang pendosa
Ada satu dampak lagi yang cukup memprihatinkan. Seseorang yang hatinya berserakan debu dosa enggan bertemu sapa dengan sesama mukmin. Karena magnit cinta dengan sesama ikhwah mulai redup, melemah. Sementara, kecenderungan bergaul dengan lingkungan tanpa nilai justru menguat. Ada pemberontakan terselubung. Berontak untuk bebas nilai.
Perjalanan hidup memang bukan jalan lurus tanpa terpaan debu. Kian cepat kita berjalan, semakin keras butiran debu menerpa. Berhati-hatilah, karena sekecil apa pun debu, ia bisa mengurangi kemampuan melihat. Sehingga tidak lagi jelas, mana nikmat; mana maksiat.


Tergantung Niat


Sebuah Cerpen 
Lembayung senja menemani langkah Fatin. Bergegas ia menuju ke jalan besar untuk menunggu angkutan umum yang akan mengantarnya pulang ke rumah.
“Lagi dan lagi, saya sendiri.” Ucap Fatin lirih.
Sambil terus berdzikir, ia menatap secara seksama arah datangnya angkutan.
****
Sore itu adalah sore kesekian Fatin hadir sendiri menghadiri pengajian pekanan di rumah Mbak Khaira –guru ngaji Fatin-. Keempat rekannya tidak hadir, Aisyah dan Naura berhalangan hadir sedangkan Rayya dan Naila tidak ada keterangan.
Pukul empat lewat Fatin telah tiba di rumah Mbak Khaira setelah sebelumnya menelpon Aisyah, apakah mengaji atau tidak. Karena Aisyah tidak mendapat kabar apapun dari Mbak Khaira, ia pikir pengajian tetap di adakan. Fatin pun dengan mantap berangkat untuk menuntut ilmu, meskipun hari itu ia merasakan tidak enak badan.
Sesampainya di rumah Mbak Khaira, ternyata belum ada kawan-kawan yang lain.
“Assalamu’alaikum… “Fatin memberi salam.
Tidak ada yang menyahut, Fatin pun mengulangi salam.
“Assalamu’alaikum… Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam warrahmatullah wabarakatuh.” Terdengar sahutan salam dari arah dalam rumah.
Terlihat kakak Mbak Khaira keluar rumah dan menyambut Fatin.
Dengan tersenyum Fatin langsung bertanya, “Mas, Mbak Khaira nya ada di rumah?”
“Khaira nya sedang keluar. Tunggu di dalam saja dik.” Jawabnya ramah.
Fatin pun masuk ke dalam ruangan yang memang di sediakan khusus untuk pengajian. Sepi. Hanya ada rak-rak berisi kitab dan buku-buku Islam.
Sambil menunggu kawan lainnya, Fatin beranjak mengambil buku dari rak. Ia memilih kisah mengenai para tabi’in wanita. Pelan-pelan ia membaca, hingga tanpa sadar sudah berpuluh-puluh halaman telah di bacanya. Satu jam berlalu sejak ia datang tapi belum ada tanda-tanda bahwa kawannya akan hadir. Hanya kabar Naura yang ia tahu, karena ketika baru sampai rumah Mbak Khaira, Fatin mendapat SMS dari Naura yang mengabarkan jika ia tidak hadir di karenakan sedang tidak enak badan.
Hari semakin beranjak sore. Ternyata Fatin telah menunggu hampir satu setengah jam, tetapi Mbak Khaira belum juga terlihat akan pulang.
Sedang asyik membaca, kakak Mbak Khaira masuk membawakan minuman untuk Fatin.
“Sendiri dik? Yang lain ke mana?” Tanya Mas Farhan, kakak Mbak Khaira.
“Emm… yang dua izin berhalangan yang dua lagi tidak ada kabarnya.” Jawab Fatin singkat.
“Oh, gitu… ya sudah di minum dulu tehnya.”
“Makasih mas.”
Mas Farhan tersenyum dan kembali ke dalam rumah.
Fatin larut dalam keasyikan membaca kisah tabi’in wanita. Sungguh patut di jadikan tauladan, bagaimana taat dan shalihnya para wanita zaman dahulu. Mereka hidup setelah zaman sahabat Rasulullah tapi keshalihan mereka tidak berbeda dari para sahabat. Wanita-wanita nan cerdas, selalu haus dalam hal keilmuan. Melayani suami dengan penuh kesetiaan dan ketulusan. Dan mampu mencetak generasi muslim yang tangguh dan bertaqwa. Fatin tersenyum membaca kisah-kisah tersebut. Tak jarang senyumnya mengembang.
“Semoga kelak, aku mampu menjadi seperti mereka.” Ucap Fatin dalam hati.
Tanpa terasa, azan Maghrib berkumandang. Mas Farhan tiba-tiba muncul di hadapan Fatin.
“Kayaknya Khaira masih lama nih pulangnya. Apa kamu mau shalat dulu?”
“Emm… saya sedang tidak shalat mas. Kalau begitu saya pamit saja ya mas.”
Fatin yang sedang asyik membaca, bergegas membereskan buku bacaan dan tasnya. Kemudian langsung pamit pulang.
“Terima kasih ya mas. Salam saja untuk Mbak Khaira. Assalamu’alaikum.”
“Iya dik, nanti saya sampaikan. Hati-hati ya. Wa’alaikumsalam.”
****
Sepanjang perjalanan, Fatin merasa bimbang. Kenapa Rayya dan Naila tidak ada kabarnya. Apa mungkin mereka sudah tahu jika Mbak Khaira tidak ada di rumah sehingga mereka tidak hadir? Kenapa mereka tidak memberitahu saya? Pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban itu terus memenuhi otak Fatin.
Ia sempat berfikir, kenapa tadi ia tidak datang saja.
“Astaghfirullah.” Seketika Fatin beristighfar menyadari bahwa keikhlasannya sedang tergadai.
Tak sekali itu saja Fatin hanya hadir sendirian. Dulu, pada awal-awal ia ikut pengajian itu, ia sempat merasa aneh. Karena seringkali ia hadir sedangkan Mbak Khaira tidak ada di tempat, tetapi Mbak Khaira tidak menginformasikan kepada semua muridnya untuk memberitahukan bahwa pengajian pekanan di liburkan. Kemudian, lambat laun Fatin paham. Bahwa maksud Mbak Khaira melakukan seperti itu karena mengajarkan kemandirian kepada muridnya. Meskipun Mbak Khaira sedang berhalangan mengisi pengajian namun pengajian harus tetap di lanjutkan meskipun hanya di hadiri beberapa orang saja.
Setelah mengetahui hal tersebut, Fatin bersyukur karena bisa mengikuti pengajian rutin setelah beberapa waktu lama vakum. Meskipun bisa di bilang tidak tiap minggu pengajian di lakukan, karena ada saja hal-hal yang membuat pengajian menjadi tertunda atau bahkan tidak di gelar. Tidak adanya orang yang datang selain Fatin, adalah salah satu contohnya.
Tapi dari sana pula, Fatin belajar tentang sebuah keikhlasan dalam menuntut ilmu. Beberapa kali datang dan beberapa kali tidak ada orang tidak membuat Fatin mundur dari ajang para pencari ilmu. Bukan tidak pernah Fatin merasa jengkel karena kondisi tersebut, tapi Fatin berusaha keras untuk berfikir positif dan yakin bahwasanya Allah tidak akan menyia-nyiakan niat baik hambaNya untuk menuntut ilmu.
Fatin kini berusaha untuk meluruskan niat. Apapun yang ia jalani, termasuk mengaji adalah karena Allah. Ada atau tidak adanya orang, semoga tercatat menjadi amal shalihnya. Yakin, bahwa tidak ada yang sia-sia jika kita berniat karena Allah.
Fatin akan terus berusaha memperbaiki setiap niatnya. Walaupun Fatin tahu, bahwa itu tidak mudah. Saat kita sudah berusaha lurus, ada saja halangan untuk membengkokkannya. Hanya Allah, tempat Fatin mengadu. Fatin juga tidak ingin hanya karena masalah tersebut lalu hengkang mencari pengajian lainnya. Karena di sana Fatin telah menemukan kenyamanan, Fatin berusaha untuk mencari hikmah dalam setiap peristiwa. Setiap pertemuan pengajian, Fatin usahakan nikmati semaksimal mungkin. Ia serap ilmu yang di berikan Mbak Khaira. Ia juga nikmati kebersamaan persaudaraan dalam lingkaran pengajian. Karena menurut Fatin, berteman dengan orang shalih adalah keharusan untuk membentengi dirinya dari hal-hal buruk. Selain beragam kawan lainnya yang di miliki Fatin tentunya. Sebab teman adalah pencerminan dirinya.
Hari itu, Fatin pun pulang ke rumahnya dengan senyum yang terukir di dalam hatinya.
Dari ‘Alqamah bin Waqqash Al-Laitsi bahwa ia berkata, “Aku mendengar Umar bin Khattab RA berkata di atas mimbar, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Semua amal perbuatan tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah karena dunia yang ia cari atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya untuk apa yang ia tuju”  (HR. Bukhari)
Nabi SAW mengingatkan: “Perumpamaan teman yang shalih dengan yang buruk itu seperti penjual minyak wangi dan tukang pandai besi. Berteman dengan penjual minyak wangi akan membuatmu harum karena kamu bisa membeli minyak wangi darinya atau sekurang-kurangnya mencium ban wanginya. Sementara berteman dengan pandai besi akan membakar badan dan bajumu atau kamu hanya akan mendapatkan bau tidak sedap“. (HR. Bukhari dan Muslim)


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/03/18782/tergantung-niat/#ixzz1qJwRcB6t