KH. Rahmat Abdullah

  • 1
Rahmat Abdullah, yang seringkali dipanggil Bang Mamak oleh warga Kampung Kuningan ini, meskipun lahir dari pasangan asli Betawi, namun ia selalu menghindari sebutan Betawi yang dianggapnya berbau kolonial Belanda. Ia lebih bangga dengan menyebut Jayakarta, karena baginya itulah nama yang diberikan Pangeran Fatahillah kepada tanah kelahirannya. Sebuah sikap yang tak lain lahir dari semangat anti kolonialisme dan imperialisme, serta kebanggaan (izzah) terhadap warisan perjuangan Islam.
      Pada usia 11 tahun, Rahmat kecil harus menapaki hidupnya tanpa asuhan sang ayah, karena saat itu ia telah menjadi seorang anak yatim. Sang ayah hanya mewariskan pada dirinya usaha percetakan-sablon, yang ia kelola bersama sang kakak dan adik untuk menutupi segala biaya dan beban hidup yang mesti ditanggungnya.
    Meskipun begitu, Rahmat bukanlah remaja yang cengeng. Walaupun harus ikut membanting tulang mengais rezeki, ia tetap tak mau tertinggal dalam pendidikan. Awal pendidikan resminya ia mulai sejak masuk sekolah dasar negeri di bilangan Kuningan, yang kala itu masih berupa perkampungan Betawi, belum berdiri gedung-gedung pencakar langit. Dan seperti umumnya generasi saat itu, Rahmat kecil setiap pagi mengaji (belajar membaca Al Qur-an, baca tulis Arab, kajian aqidah, akhlaq & fiqh dengan metode baca kitab berbahasa Arab, nukil terjemah dan syarah ustadz) baru siang harinya dilanjutkan dengan sekolah dasar.
    Tahun 1966, setelah lulus SD, yang tahun ajarannya diperpanjang setengah tahun karena terjadi peristiwa G-30-S/PKI, Rahmat masuk SMP. Tapi kali ini ia mesti keluar lagi karena terjadi dilema dalam dirinya. Ironi memang, di satu sisi keaktifan dirinya sebagai aktifis demonstran anggota KAPPI & KAMI yang dikenal sebagai angkatan 66, namun di hari Jum’at sekolahnya justru masuk pukul 11.30, tepat saat shalat Jum’at.
    Karenanya pada permulaan tahun ajaran berikutnya (1967/1968) Rahmat memutuskan pindah ke Ma’had Assyafi’iyah, Bali Matraman. Dari hasil test dan interview, ia harus duduk di kelas II Madrasah Ibtidaiyah (tingkat SD). Namun Rahmat tidak puas dengan hasil itu, ia mencoba melakukan lobby dengan seorang ustadz, untuk melakukan test ulang hingga ia pindah duduk di kelas III.
     Permulaan belajar di Ma’had ini, bagi Rahmat begitu berbekas. Apalagi ia harus ikut mengaji pada seorang ustadz senior Madrasah Tsanawiyah (Tingkat SMP) yang sangat streng dalam berbicara dan mengajar dengan bahasa Arab. Namun tak selang lama, ternyata sang guru kelas ini justru sama-sama mengaji bersamanya.
    Rahmat memang langsung meloncat naik ke kelas V, di sinilah ia belajar ilmu nahwu dasar yang sangat ia sukai karena dengan ilmu itu terkuaklah setiap misteri intonasi dan narasi penyiar Shauth Indonesia, yang sering disiarkan oleh radio RRI dengan berbahasa Arab. Siaran inilah yang menjadi acara kesukaan Rahmat. Sehingga meski hidupnya serba kekurangan, namun karena sadar akan pentingnya komunikasi dan informasi, Rahmat merelakan uang makannya untuk dikumpulkan sedikit demi sedikit dari hasil jerih payahnya mencari pelanggan sablon, untuk membeli radio. Padahal saat itu, radio masih menjadi status simbol bagi orang-orang kaya zaman itu.
    Selepas kelas V, Rahmat melanjutkan di Madrasah Tsanawiyah Assyafi’iyah. Di MTs ini ia belajar ushul fiqh, musthalah hadits, psikologi & ilmu pendidikan, di samping tetap belajar ilmu nahwu, sharf dan balaghah. Tapi pelajaran yang paling ia sukai adalah talaqqi. Biasanya talaqqi ini dilakukan langsung dengan para masyaikh (kiai) serta bimbingan langsung sang orator pembangkit semangat yang selalu memberikan inspirasi Rahmat muda, KH Abdullah Syafi’i.
    Di saat ini pula Rahmat merintis dakwah dengan mengajar di Ma’had Asyafi’iyah dan Darul Muqorrobin, Karet Kuningan. Di tempat inilah Rahmat remaja mengabdikan dirinya sebagai guru, pendidik dan mengajarkan berbagai ilmu. Keseharian ini ia jalani bertahun-tahun dengan berjalan kaki dari Bali Matraman ke Karet Kuningan. Bahkan untuk memberikan pelajaran tambahan berupa les privat pun ia lakukan dengan berjalan kaki masuk ke lorong-lorong jalanan Jakarta hingga larut malam.
    Semangat hidup dan dakwah ini juga ia tuangkan dalam berbagai untaian bait-bait syair, puisi serta berbagai tulisan artikel kecil yang ia kirim ke berbagai media. Tak jarang ia juga berlatih bermain teater bersama rekan-rekan guru atau teman-teman seperjuangannya.
    Dari jerih payah inilah, selain bisa membeli sebuah motor Honda 66 atau sering disebut motor Chips, Rahmat Abdullah mampu mengasah watak dan pikirannya sehingga menjadi murid terbaik dan murid kesayangan dari KH. Abdullah Syafi’i. Bahkan sempat pada tahun 1980, bersama empat rekannya mau diberangkatkan ke Universitas Al Azhar Kairo Mesir, namun sayang gagal karena adanya ‘fitnah’ dari kalangan internal.
    Namun hal itu tak menyurutkan Rahmat untuk selalu belajar. Sejak berkenalan dengan Syeikh Mesir yang pernah dikenalkan KH. Abdullah Syafi’i padanya, ia mulai senang melahap berbagai buku dan pemikiran Islam seperti Hasan Al Banna, Sayyid Quthb, Al Maududi serta tokoh nasional seperti HOS Cokroaminoto dan M. Natsir.
   Sedang dari perjalanan dakwah bersama remaja-remaja Kuningan, menjadikannya sangat suka kala berdiskusi dan berguru dengan tokoh-tokoh M Natsir, Mohammad Roem ataupun Syafrudin Prawiranegara. Rahmat pun mengakui secara terus terang mengadopsi logika dan metode orasi yang ia ambil dari sang orator Isa Anshari dan Buya Hamka serta sang gurunya sendiri, Abdullah Syafi’i yang masyhur dengan teriakan lantang penggugah jiwa.
   Rahmat remaja meski dikenal sebagai demonstran tapi sosoknya dikenal lembut, bahkan dianggapnya seringkali tidak bisa marah. Kemarahannya akan terlihat meledak jika Islam dilecehkan. Sebagaimana saat mendengar pembicaraan sang kakak, Rahmi, saat meminta kolega bisnisnya yang bekerja sebagai Kopasanda -Kopassus- untuk melunasi hutangnya. Tapi Kopassanda malah menjawab, "Nabi saja bisa meleset janjinya." Kontan mendengar pernyataan itu Rahmat keluar dari ruangan samping dan langsung berucap, "Nabi yang mana janjinya tidak tepat," Kopasanda itu malah menjawab, "Anda ndak usah ikut campur dengan urusan ini." Rahmat remaja langsung menyambut, "Suara Bapak terdengar di telinga saya di sini, sekali pun bapak berpakaian dinas, nabi yang mana yang ingkar janji itu," ujar Rahmat menahan emosi. Akhirnya Kopasanda itu minta maaf.
   Sikap tegas ini lah yang menjadikan Rahmat Abdullah muda sangat disegani para pemabok ataupun preman. Karena caranya mendekati yang bersahabat. Bahkan, meski pernah kakaknya disakiti jagoan Kuningan waktu itu, H. Hamdani, ia tetap bisa menghadapinya dengan baik. Malah anak jagoan itu yang kemudian sempat ditahan polisi.
   Anak-anak muda, preman, seniman semuanya ia rangkul terutama dalam wadah seni teater yang sering ia gelar di lapangan depan masjid Raudhtul Fallah —lapangan yang berada di belakang Dubes Malaysia saat ini-. Di tempat inilah Rahmat muda sering mengekspresikan syair dan puisinya serta peranan imajinasi dan pemikirannya sebagai sutradara teater dengan menggelar pagelaran teater drama terbuka. Teater yang terakhir kali ia pentaskan berjudul "Perang Yarmuk" yang tampil bersama Abdullah Hehamahua (1984). Dimana pementasannya sempat dikepung oleh intel dan aparat keamanan karena dianggap subversif di masa kekuasan Suharto.
   Selepas pentas pun, tak ayal Rahmat dipanggil untuk menghadap KODIM. Namun Rahmat justru menjawab "Kalau yang memanggil Ibu, saya akan datang. Kalau yang memanggil KODIM sampai kapan pun saya tak akan pernah datang. Kalau mau saya datang ke KODIM, datang dulu ke ibu saya," ungkap Rahmat muda menjawab aparat dari kodim yang melayangkan surat panggilannya. Bahkan salah satu aparat KODIM, Soeryat, sempat menangis di hadapan Rahmat muda karena nasehat-nasehatnya agar tidak saling ‘memberangus’ sesama Muslim.
    Keasyikan menceburkan diri dalam dakwah, rupanya menjadikan Rahmat tak sadar telah dimakan usia. Rahmat baru tersadar ketika seorang teman yang baru menikah mengingatkan sudah waktunya memikirkan bangunan rumah tangga. Barulah ia menyadari usianya sudah memasuki tahun ke-32.
Malam itu, malam Kamis 14 Ramadhan 1405 H. (1984 M), bertiga; Rahmat, ibunda dan bibi datang mengkhitbah seorang anak yang pernah menjadi muridnya, Sumarni, tatkala Rahmat duduk di kelas II MTs. Saat itu Sumarni masih menjadi siswi kelas I Madrasah Ibtidaiyah (lk. Umur 5 tahun). Ia adalah sang nominator juara I untuk lomba praktik ibadah.
   Saat berlangsungnya khitbah, ketika keluarga Rahmat mengajukan usulan walimah bulan Syawal seperti kebiasaan Rasululllah saw, seorang ustadz wakil dari perempuan mengatakan, "Itu tetap walimah, tetapi Anda tidak akan menemukan keberkahan seperti bulan (Ramadhan) ini." Akhirnya, disepakati untuk nikah besok malamnya, malam Jum’at 15 Ramadhan. "Soal KUA urusan Ane, tinggal terima surat aje," ujar ustadz tadi. "Bah, ini rada-rada ketemu," ujar Rahmat muda dalam hati.
   Walhasil sampai menjelang rombongan berangkat 15 Ramadhan itu, masih ada teman pemuda masjid yang bertanya, "Ini mau kemana sih?" Apalagi suasana saat itu memang masih represif. Bahkan belum sebulan menikah, di pagi buta ba’da subuh sesaat setelah peristiwa Tanjung Periok, Rahmat telah dijemput untuk mendengarkan rekaman peristiwa penembakan massa di Tanjung Priok yang terjadi semalam. Pagi itu lelaki yang sudah mulai akrab dipanggil Ustadz Rahmat itu, bersama pemuda Islam lainnya langsung meninjau lokasi yang porak poranda. Mendengar peristiwa itu pun, sang mertua justru mengusulkan untuk selalu membawa sang isteri untuk diajak juga keliling berbagai kota di Jawa. "Untuk penjajagan sikap ummat dan apa yang kerennya disebut ‘konsolidasi’lah," ujar Ustadz Rahmat saat diwawancarai beberapa saat lalu.
Setelah menikah, ia tinggal di Kuningan, bersama Ibu dan Adiknya. Hingga lahir tiga orang anaknya, Shofwatul Fida (19), Thoriq Audah (17) dan Nusaibatul Hima (15).
    Pada pertengahan tahun 80-an Rahmat muda bergabung dengan Harakah Islamiyah yang saat itu tumbuh berkembang di Indonesia. Bersama Abu Ridho, Hilmi Aminudin dan beberapa tokoh pemuda Islam lainnya terus bersatu bergerak dalam dakwah yang lebih luas dan tertata. Gerakan dakwahnya ini lebih terinspirasi pada gerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan Al Banna di Mesir yang sama-sama menjadi acuan kalangan muda saat itu
     Pemikiran Hasan Al Banna yang telah lama menginspirasi dakwah pribadinya kini telah bertemu implementasinya bersama teman-teman yang merintis pendidikan dan kaderisasi dalam rangka penyadaran akan Islam dan mempertahankan kemurniannya. Di wadah baru inilah Rahmat selain berdiskusi, mengakses berbagai informasi tanpa melalaikan fungsi utama juga sebagai pendidik, penceramah, Rahmat merintis sebuah majalah Islam yang sangat disukai dan digemari kalangan muda. Namun sayang, saluran ekspresi pemikirannya itu harus dibredel di saat rezim orde baru mulai mengkhawatirkan kiprahnya. Namun pembredelan itu tak menyurutkan Rahmat untuk membuka lembaran baru berekspresi dalam dakwah.
    Dan setelah 8 tahun menetap di Kuningan, ia mengontrak di Jl. Potlot I/ 29 RT 2 RW 3 Duren Tiga, Kalibata. Di sana lahir anaknya, Isda Ilaiha (13). Tapi panggilan dakwah sepertinya lebih memanggilnya. Tahun 1993 bersama murid-muridnya mencoba membangun pengembangan dunia pendidikan dan sosial dengan mendirikan Islamic Center Iqro’ yang terletak di Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat.
    Di sini pula ia menetap dan memboyong keluarganya dari kontrakannya di Gang Potlot, Duren Tiga, Kalibata menuju tanah yang masih penuh rawa untuk berekspresi mengembangkan cita-citanya melalui kajian kitab-kitab klasik dan kontemporer. Di tempat terakhir ini merintis segala impian dan lahir anak-anaknya, Umaimatul Wafa (11), Majdi Hafizhurrahman (9), Hasnan Fakhrul Ahmadi(7).Di sini kesibukannya, semakin padat. Tetapi, kebiasaan pribadinya, untuk membaca, mengkaji Al Qur’an dan Tafsirnya, Hadits dan syarahnya tetap berjalan. Begitupun, kegiatannya mengisi pengajian di kantor, kampus, serta melayani berbagai macam konsultasi sejak lepas subuh hingga jam 08.00 pagi. Ditambah lagi kesibukan di Iqro’.
Bahkan, kegiatan rutin ini tetap ia jalani meskipun semenjak tahun 1999 ia diamanahi sebagai Ketua Bidang Kaderisasi DPP Partai Keadilan. Demikian juga saat beralih menjadi Ketua Majelis Syuro sekaligus Ketua Majelis Pertimbangan Partai Keadilan Sejahtera yang ia dirikan bersama teman-teman seperjuangan setelah lebih dari 10 tahun ia rintis.
   Pada tahun 2004 sang aktivis demonstrasi, budayawan, filosof, guru dan pendidik yang disegani anak muda ini harus masuk ke gedung parlemen. Ustadz Rahmat terpilih sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan Bandung, Jawa Barat. Dan baru pada saat Ustadz Rahmat Abdullah mencalonkan diri inilah Bandung untuk pertama kalinya dimenangkan partai Islam.
    Meskipun telah menjadi wakil rakyat, Ustadz Rahmat dikenal dikalangan Komisi III sebagai wakil rakyat yang tetap bersuara lantang, namun penuh santun dan filosofis sekaligus puitis dalam mengkritisi setiap kabijakan. Tak peduli menteri, presiden dan pejabat manapun ia sampaikan kritikan tajam membangunnya yang seringkali menjadi wacana baru bagi para pemimpin negeri ini.
    Bahkan jabatan terakhir sebagai Ketua Badan Penegak Disiplin Organisasi Partai Keadilan Sejahtera ia emban dengan penuh amanah dan luapan semangat hingga akhir hayatnya saat ia harus dijemput kematian sesaat setelah berwudhu hendak menunaikan penghambaan pada sang Khalik, Selasa (14/6).
    Sebuah harapan yang mungkin telah engkau ungkapkan sepekan sebelum dirimu meninggal. Dimana tidak biasanya dirimu ditegur isterimu ketika membuka album-album kenanganmu. "Lihat nih, orang Betawi kini telah keliling dunia, ke Inggris, Jerman, Belanda, Perancis, Amerika juga Makkah. Tinggal ke akheratnya saja yang belum," ujarmu berseloroh yang kini telah kau buktikan.
Selamat jalan guruku, jejak langkah perjuanganmu akan kami teruskan.http://tokoh-muslim.blogspot.com/2009/02/kh-rahmat-abdullah.html#comment-form

Israel minta Otoritas Palestina membunuh rakyatnya sendiri


Oleh Althaf pada Rabu 26 Januari 2011, 01:59 PM
TEL AVIV (Arrahmah.com) - Para pejabat tinggi Israel dan Palestina telah berdiskusi untuk membunuh seorang militan Palestina, sementara itu pada saat yang sama pejabat keamanan Inggris mendesak polisi Palestina untuk menginfiltrasi Hamas, dokumen yang bocor pada Selasa malam (25/1/2011) menyebutkan.
Dokumen tersebut mengutip percakapan antara menteri dalam negeri Palestina Nasr Yousef dan Menteri Pertahanan Israel Shaul Mofaz tahun 2005, di mana mereka berbicara tentang pembunuhan seorang 'militan' terkemuka, Hassan Al Madhoun.

Laporan yang dilansir oleh televisi Al Jazeera ini mengutip Mofaz yang bertanya pada Yousef: "Mengapa kau tidak membunuhnya?"

"Kami sudah memberikan instruksi kepada Rasheed Abu Shabak (kepala keamanan Palestina di Tepi Barat) dan kami menunggunya," jawab Yousef.

Madhoun, dari Brigade Syuhada Al Aqsa, tewas dalam serangan rudal Israel di Gaza pada akhir tahun 2005, setelah kembalinya Mofaz memerintahkan pembunuhan sejumlah orang yang ditargetkan setelah pemboman mal yang menewaskan lima orang Israel.

Masih terdapat lebih dari 1.600 file yang merinci lebih dari satu dekade pembicaraan damai antara Israel dan Palestina yang mulai dibocorkan Al Jazeera pada Minggu malam.

Setumpuk dokumen lainnya juga menunjukkan bahwa Intelijen Rahasia Inggris, MI6, mengusulkan sebuah rencana untuk mendorong badan-badan keamanan Palestina dalam menahan rakyat Palestina tanpa proses pengadilan sebagai upaya untuk melemahkan kelompok-kelompok seperti Brigade Al Aqsa dan sayap bersenjata Hamas, serta Jihad Islam. (althaf/arrahmah.com)

Season for Jews, Christians and Muslims to look back at 2010

By Prince El Hassan bin Talal
Amman - At the time of Eid ul-Adha, which marks the end of the Muslim pilgrimage to Mecca; Hanukkah, when Jews commemorate the dedication of the Holy Temple in Jerusalem; and Christmas, when Christians celebrate the birth of Jesus, we look back, yet again, on a year “that could have been”.
Muslims, Jews and Christians are bound by a common heritage under one God. The coincidence surrounding the timing of our religious celebrations reminds us that we share similar mechanisms for spiritual renewal. It reminds us that we share the sin of departure from true fundamentals as well.
It is ironic that in attempting to preserve the traditions and customs of our shared civilisation many individuals are undermining the very foundations upon which it was built.
For many in the Middle East, 2010 was a year that began with much promise – even hope. The implications of a renewed and sincere US rapprochement with the region and the Muslim world, as outlined in June 2009 by US President Barack Obama in Cairo, was to begin in earnest during this time, healing old wounds and rebuilding fractured relationships. A change in tone and attitude seemed to augur something deeper: that after more than a decade of war, strife and misery in the Middle East, the international community agreed that enough was enough.
The Israeli-Palestinian issue was the major testing ground for this newfound emphasis, especially for those in the region. But there were other indicators of change. US troops began their withdrawal from Iraq and a new Iraqi government was formed.
This was to be the year in which renewed efforts would keep Al Qaeda in Iraq at bay, and the global economy would finally reassert itself after the shockwaves of the greatest economic collapse in almost a century.
The story which has instead unfolded is one permeated with the strange logic of failure. The vast majority of US troops have now left Iraq, but the coalition government which remains has taken months to form after inconclusive elections in March. Even before the outrageous murder of Iraqi Christians at a church service in Baghdad on 31 October, dozens were losing their lives every single day in Iraq. One of the region’s oldest religious minorities is now fleeing en masse.
Al Qaeda remains embedded in Afghanistan and areas of Pakistan, while Yemen has become the latest theatre of terrorism. Dubai was wracked by financial havoc, while Iran continues a delicate diplomatic dance regarding its nuclear intentions – and Israeli impatience deepens.
As for the Middle East peace process, there is little that has not been said. Many assume that there can be no two-state solution if settlement building continues.
Ten years into the new millennium, we enjoy the benefits of staggeringly advanced technology. We can communicate across time and space effortlessly. We have travelled to the moon, explored the deepest depths, and rendered the earth a village. Yet we seem to lack the ability to shape the world as we see fit, as the post-WWII generation once did with the development of new international institutions and hope. Like them, we must once again transform thought and conviction into action.
Looking back at 2010, the Middle East appears as a place of extremism. Nothing could be further from the truth. However, it does face extreme challenges. Arab nations continue to fiercely guard their own interests, despite the lessons learnt from our historical legacy. Fifty-five million young people are unemployed in the Middle East and, since 1990, wars have created more displaced persons than in any other period.
Eid ul-Adha, Christmas and Hanukkah are occasions to give thanks, occasions that offer an opportunity to look back. The year of 2010 has seemingly not brought significant change or peace. However, we remain thankful that it has not brought more war.
What it has brought instead is perhaps a keener understanding of the gravity of our problems, the costs which will have to be incurred to solve them, and a greater understanding of the wider repercussions should we fail. In 2010 we, the international community, stand humbled, aware like seldom before of the almost impossible challenge we must face.
In order to emerge from this stalemate, we must appeal to our common ethics and values – to our common humanity. These values lie at the heart of our respective faiths and offer us the guidance to put “anthropolitics” into action. Recognising these commonalities can inspire those of diverse faiths to collectively promote human welfare.
Most importantly, we need hope, which can only be brought about by statesmen with a vision for a better and humane future, rather than politicians concerned with popularity and mere political survival. Ultimately, we need to close the seemingly widening gap between rapidly developing technology and our traditional values and morals.
-- His Royal Highness Prince El Hassan bin Talal of Jordan is President Emeritus of the World Conference of Religions for Peace and President of the West-Asia North Africa Forum. This article was written for the Common Ground News Service (CGNews).
Source: Middle East Online http://islamonline.com/news/articles/2/Season-for-Jews-Christians-and-Muslims-to-look-ba.html

Terpatah Menekuni Ukhuwah

  • 0
[eramuslim]
Menyimak uraian manisnya perilaku para sahabat, yang mendoakan pencuri usai menyatroni rumahnya, dengan doa yang indah:

"Ya Allah... jika dia orang kaya, maka ampunilah dia. Dan jika dia orang miskin, jadikanlah ia orang kaya."

Sungguh membuat diri ini malu hati.

Sudahkah aku berdoa untuk orang-orang di sekelilingku? Bukan hanya untuk orang-orang yang dekat denganku saja, tapi juga untuk semua orang, bahkan orang yang mencideraiku? Mampukah aku begitu?
Mendengar cerita tentang sahabat yang menangis tersedu-sedu setelah hartanya dicuri, lalu ditanyakan kepadanya gerangan apa yang membuat ia menangis? Ia menjawab sendu, "Aku menangis karena kasihan dengan pencuri itu, atas dosa yang telah ia lakukan."

Wahai! Masih mampukah aku menangis untuk orang lain seperti itu? Jika saja aku menjadi korban pencurian, mungkin aku menangis karena hartaku yang hilang, bukan karena kasihan dengan si pencuri. Ya! aku masih sibuk dengan menangis untuk diriku sendiri....

Membaca cerita tentang 2 karib, saat salah seorang dari mereka mengakui bahwa dia telah mengambil uang dari saku gamis sahabatnya itu tanpa ijin, karena kebutuhan yang sangat mendesak dan baru mengatakaan setelahnya, namun sahabatnya itu justru memeluknya erat dan berkata, "Alhamduulillah, selamat, selamat. Dengan ini kau benar-benar telah menjadi saudaraku, karena sesungguhnya hartaku adalah juga hartamu."

Duhai, apa yang akan kulakukan jika ada orang yang mengambil uang dariku tanpa ijin? Merobek buku kesayanganku yang dia pinjam? Merusakan netbukku yang dia pakai sementara? Apakah aku masih bisa mengucapkan tabaruk padanya, tanpa kalimat omelan atau makian? Mampukah aku berlapang dada atas itu semua?

Apatah lagi akan mampu bersikap itsar seperti gambaran sahabat anshor dalam surah Al-Hasyr, sedang untuk bersikap salamatus sadr sebagai serendah-rendahnya ukhuwah saja, ternyata begitu sulitnya. Astaghfirullah..

Ta'aruf - Tafahum - Takaful, rukun ukhuwah yang indah, tapi ternyata sangat tidak mudah.
Jangankan tafahum apalagi takaful. Ta'aruf saja rasanya masih begitu jauh kugapai. Masih terbata-bata aku mengeja maknanya.

Aku tak hafal nama semua anak-anak temanku. Tak mampu menyebutkan dengan lengkap alamat rumahnya. Bahkan kadang lupa hari ulang tahunnya. Aku tak tahu apa yang menjadi hobbynya, tak tahu dengan jelas dimana dia bekerja. Belum pernah sekali pun datang ke rumahnya.
 Astafghfirullah...

Sementara itu, aku sedih saat diri ini sakit dan hanya sedikit sahabat yang menjenguk. Menangis berhari-hari saat ibuku meninggal dan beberapa orang sahabat dekat ternyata tak kunjung mengucapkan sekedar turut berduka cita, hari demi hari kutunggu sampai aku kembali ke ibukota. Mudah tersinggung saat ada kata-kata dari sahabat yang kurang tertata (padahal cuma kata-kata, bagaimana jika luka fisik?)
Allahu, masih saja aku menuntut banyak hak dari ukhuwah, sementara tak kutunaikan dengan baik kewajiban ukhuwah pada diriku.
"Mbak itu orangnya kurang perhatian, jarang menanyakan kabar pada kami. Kalau telepon, maunya langsung to the poin."

Astaghfrullah, kenapa aku jadi seperti robot? Bukankah orang lain juga ingin diperhatikan, tak hanya dibebani kewajiban?
"Gimana sih Ning? Kamu kalau aku cerita kok diam saja gak ada komentar? Mbok ngomong apa gitu, yang bisa menghiburku."
(dan aku terperangah karena sebenarnya sedang memikirkan solusi dari apa yang dia ceritakan. Oh, ternyata dia bercerita padaku hanya butuh didengarkan dan dihibur, sementara aku berpikir dia butuh solusi. Maafkan, maafkan aku tak pandai memahami)
"Mbak itu terlalu tegas dan galak, jadi saya agak takut mau cerita yang sebenarnya dari kemaren."
Innalillahi, begitu ya? Apa tampang saya mirip monster, atau algojo? Sampai orang pun enggan untuk sekedar bercerita?

Rabbana, ternyata sungguh tak mudah menekuni rukun ukhuwah.
Maafkan, maafkan diriku yang lengah
Namun, meski diri ini belum sempurna menekuninya
semoga ia-nya tetap menuai keberkahan yang indah
dan selalu ingin kukatakan pada sahabat2-ku
uhibbukum fil-Lah...