Air Mata yang Menuntun Ke Surga

  • 1


Dua ilmuwan pernah melakukan penelitian disertasi tentang air mata. Kedua peneliti tersebut berasal dari Jerman dan Amerika Serikat. Hasil penelitian kedua peneliti itu menyimpulkan bahwa air mata yang keluar karena tepercik bawang atau cabe berbeda dengan air mata yang mengalir karena kecewa dan sedih.

Air mata yang keluar karena terpercik bawang atau cabe ternyata tidak mengandung zat yang berbahaya. Sedangkan, air mata yang mengalir karena rasa kecewa atau sedih disimpulkan mengandung toksin, atau racun. Kedua peneliti itu pun merekomendasikan agar orang-orang yang mengalami rasa kecewa dan sedih lebih baik menumpahkan air matanya. Sebab, jika air mata kesedihan atau kekecewaan itu tidak dikeluarkan, akan berdampak buruk bagi kesehatan lambung.



Menangis itu indah, sehat, dan simbol kejujuran. Pada saat yang tepat, menangislah sepuas-puasnya dan nikmatilah karena tidak selamanya orang bisa menangis. Orang-orang yang suka menangis sering kali dilabeli sebagai orang cengeng. Cengeng terhadap Sang Khalik adalah positif dan cengeng terhadap makhluk adalah negatif.

Orang-orang yang gampang berderai air matanya ketika terharu mengingat dan merindukan Tuhannya, air mata itu akan melicinkannya menembus surga. Air mata yang tumpah karena menangisi dosa masa masa lalu akan memadamkan api neraka.

Hal ini sesuai dengan hadis Nabi, "Ada mata yang diharamkan masuk neraka, yaitu mata yang tidak tidur semalaman dalam perjuangan fisabilillah dan mata yang menangis karena takut kepada Allah." Seorang sufi pernah mengatakan, jika seseorang tidak pernah menangis, dikhawatirkan hatinya gersang. Salah satu kebiasaan para sufi ialah menangis. Beberapa sufi mata dan mukanya menjadi cacat karena air mata yang selalu berderai.

Tuhan memuji orang menangis. "Dan, mereka menyungkurkan wajah sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk." (QS Al-Isra' [17]:109). Nabi Muhammad SAW juga pernah berpesan, "Jika kalian hendak selamat, jagalah lidahmu dan tangisilah dosa-dosamu." Ciri-ciri orang yang beruntung ialah ketika mereka hadir di bumi langsung menangis, sementara orang-orang di sekitarnya tertawa dengan penuh kegembiraan. Jika meninggal dunia ia tersenyum, sementara orang-orang di sekitarnya menangis karena sedih ditinggalkan.

Tampaknya, kita perlu membayangkan ketika nanti meninggal dunia, apakah akan lebih banyak orang mengiringi kepergian kita dengan tangis kesedihan atau dengan tawa kegembiraan.

Jika air mata kerinduan terhadap Tuhan tidak pernah lagi terurai, apalagi jika air mata selalu kering di atas tumpukan dosa dan maksiat, kita perlu segera melakukan introspeksi. Apakah mata kita sudah mulai bersahabat dengan surga atau neraka. [Oleh Prof Nasaruddin Umar; republika]

source: afirmasi467.blogspot.com

Menghias Hati dengan Menangis

“Andai kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Indahnya hidup dengan celupan iman. Saat itulah terasa bahwa dunia bukan segala-galanya. Ada yang jauh lebih besar dari yang ada di depan mata. Semuanya teramat kecil dibanding dengan balasan dan siksa Allah swt.

Menyadari bahwa dosa diri tak akan terpikul di pundak orang lain
Siapa pun kita, jangan pernah berpikir bahwa dosa-dosa yang telah dilakukan akan terpikul di pundak orang lain. Siapa pun. Pemimpinkah, tokoh yang punya banyak pengikutkah, orang kayakah. Semua kebaikan dan keburukan akan kembali ke pelakunya.
Maha Benar Allah dengan firman-Nya dalam surah Al-An’am ayat 164. “…Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan.”
Lalu, pernahkah kita menghitung-hitung dosa yang telah kita lakukan. Seberapa banyak dan besar dosa-dosa itu. Jangan-jangan, hitungannya tak beda dengan jumlah nikmat Allah yang kita terima. Atau bahkan, jauh lebih banyak lagi.
Masihkah kita merasa aman dengan mutu diri seperti itu. Belumkah tersadar kalau tak seorang pun mampu menjamin bahwa esok kita belum berpisah dengan dunia. Belumkah tersadar kalau tak seorang pun bisa yakin bahwa esok ia masih bisa beramal. Belumkah tersadar kalau kelak masing-masing kita sibuk mempertanggungjawabkan apa yang telah kita lakukan.

Menyadari bahwa diri teramat hina di hadapan Yang Maha Agung
Di antara keindahan iman adalah anugerah pemahaman bahwa kita begitu hina di hadapan Allah swt. Saat itulah, seorang hamba menemukan jati diri yang sebenarnya. Ia datang ke dunia ini tanpa membawa apa-apa. Dan akan kembali dengan selembar kain putih. Itu pun karena jasa baik orang lain.
Apa yang kita dapatkan pun tak lebih dari anugerah Allah yang tersalur lewat lingkungan. Kita pandai karena orang tua menyekolah kita. Seperi itulah sunnatullah yang menjadi kelaziman bagi setiap orang tua. Kekayaan yang kita peroleh bisa berasal dari warisan orang tua atau karena berkah lingkungan yang lagi-lagi Allah titipkan buat kita. Kita begitu faqir di hadapan Allah swt.
Seperti itulah Allah nyatakan dalam surah Faathir ayat 15 sampai 17, “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Jika Dia menghendaki, niscaya Dia musnahkan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu). Dan yang demikian itu sekali-kali tidak sulit bagi Allah.”

Menyadari bahwa surga tak akan termasuki hanya dengan amal yang sedikit
Mungkin, pernah terangan-angan dalam benak kita bahwa sudah menjadi kemestian kalau Allah swt. akan memasukkan kita kedalam surga. Pikiran itu mengalir lantaran merasa diri telah begitu banyak beramal. Siang malam, tak henti-hentinya kita menunaikan ibadah. “Pasti, pasti saya akan masuk surga,” begitulah keyakinan diri itu muncul karena melihat amal diri sudah lebih dari cukup.
Namun, ketika perbandingan nilai dilayangkan jauh ke generasi sahabat Rasul, kita akan melihat pemandangan lain. Bahwa, para generasi sekaliber sahabat pun tidak pernah aman kalau mereka pasti masuk surga. Dan seperti itulah dasar pijakan mereka ketika ada order-order baru yang diperintahkan Rasulullah.
Begitulah ketika turun perintah hijrah. Mereka menatap segala bayang-bayang suram soal sanak keluarga yang ditinggal, harta yang pasti akan disita, dengan satu harapan: Allah pasti akan memberikan balasan yang terbaik. Dan itu adalah pilihan yang tak boleh disia-siakan. Begitu pun ketika secara tidak disengaja, Allah mempertemukan mereka dengan pasukan yang tiga kali lebih banyak dalam daerah yang bernama Badar. Dan taruhan saat itu bukan hal sepele: nyawa. Lagi-lagi, semua itu mereka tempuh demi menyongsong investasi besar, meraih surga.
Begitulah Allah menggambarkan mereka dalam surah Albaqarah ayat 214. “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.”

Menyadari bahwa azab Allah teramat pedih
Apa yang bisa kita bayangkan ketika suatu ketika semua manusia berkumpul dalam tempat luas yang tak seorang pun punya hak istimewa kecuali dengan izin Allah. Jangankan hak istimewa, pakaian pun tak ada. Yang jelas dalam benak manusia saat itu cuma pada dua pilihan: surga atau neraka. Di dua tempat itulah pilihan akhir nasib seorang anak manusia.
“Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari isteri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.” (QS. 80: 34-37)
Mulailah bayang-bayang pedihnya siksa neraka tergambar jelas. Kematian di dunia cuma sekali. Sementara, di neraka orang tidak pernah mati. Selamanya merasakan pedihnya siksa. Terus, dan selamanya.
Seperti apa siksa neraka, Rasulullah saw. pernah menggambarkan sebuah contoh siksa yang paling ringan. “Sesungguhnya seringan-ringan siksa penghuni neraka pada hari kiamat ialah seseorang yang di bawah kedua tumitnya diletakkan dua bara api yang dapat mendidihkan otaknya. Sedangkan ia berpendapat bahwa tidak ada seorang pun yang lebih berat siksaannya daripada itu, padahal itu adalah siksaan yang paling ringan bagi penghuni neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Belum saatnyakah kita menangis di hadapan Allah. Atau jangan-jangan, hati kita sudah teramat keras untuk tersentuh dengan kekuasaan Allah yang teramat jelas di hadapan kita. Imam Ghazali pernah memberi nasihat, jika seorang hamba Allah tidak lagi mudah menangis karena takut dengan kekuasaan Allah, justru menangislah karena ketidakmampuan itu.

source: dakwatuna.com

Doa Anak-Anak Gaza di Pagi Hari

  • 1
Tuhan
Pagi ini kami ingin sekolah
Kami rindu pada madrasah kami yang indah
Kami rindu pada cerita Lubna dan Antarah
Tentu juga Sirah Rasulillah

Pagi ini kami ingin secuil roti
Kami ingin sepotong keju
Setetes susu
Dan sebutir Tin dan Zaitun

Pagi ini kami ingin belaian cinta
Ayah kami tercinta
Paman kami tercinta
Kakek kami tercinta

Pagi ini kami ingin matahari
Yang cerah menyinari gaza
Dan mengusir segala kecemasan jiwa

O Tuhan, apakah mereka akan merampas juga
Matahari kami, atau menutup Gaza
Tanpa matahari
Sehingga tak ada lagi pagi bagi kami

Tuhan
Biarlah mereka mengucilkan kami dari dunia
Asal setiap pagi
Kau masih tersenyum pada kami
Dunia tidak penting lagi bagi kami

Tuhan
Kami tidak pernah mengemis kemerdekaan pada siapapun
Karena kami telah memiliki kemerdekaan itu
Setiap kami menyebut nama-Mu
Dan setiap kami rukuk dan sujud kepada-Mu

Tuhan ini pagi ini kami tetap tersenyum kepada-Mu
Maka tersenyumlah kepada kami

(Puisi ini pernah dibacakan dalam Konferensi Internasional Pengajar Bahasa Arab Dunia Islam, di Universitas Al Azhar Indonesia, Juli 2010. Dibacakan kembali pada acara Asia-Pacific Community Conference for Palestine di Jakarta, 29 Juni 2011)



Mudah-mudahan hati tiada membatu ketika lengah sejenak dari mengingat mereka. Ya Rabb, hidupkan hati kami dengan perantaraan mencinta mereka. Dan izinkan kami menjadi pembela mereka, sekecil apapun pembelaan kami. Jangan Engkau sekat kesatuan hati kami..




source : dakwatuna.com

Keajaiban Puasa Ramadhan: Pembaruan Struktur Otak & Relaksasi Sistem Saraff

  • 0

Assalamualaikum wr.wb.

 JAKARTA (voa-islam.com) – Selama sebulan puasa selama Ramadhan, umat Islam jalani runititas sahur, menahan diri dari makan, minum & seks, serta amalan ibadah. Penelitian menunjukkan bahwa pengaturan dan pembatasan asupan kalori meningkatkan kinerja otak. Subhanallah, puasa Ramadhan terbukti bermanfaat untuk membentuk struktur otak baru dan merelaksasi sistem saraf.
Otak merekam kegiatan yang dilakukan secara simultan. Begitu juga dengan aktivitas puasa. Selama satu bulan, tubuh diajak menjalani rutinitas sahur, menahan diri dari makan, minum, dan seks, kemudian berbuka di petang hari serta menjalankan ibadah Ramadan lainnya.
Berpuasa menjadi bagian dari perintah agama. Sementara itu agama dan spiritualitas merupakan bentuk perilaku manusia yang dikontrol otak. Ketua Centre for Neuroscience, Health, and Spirituality (C-NET) Doktor Taufiq Pasiak mengatakan bahwa puasa menjadi latihan mental yang berkaitan dengan sifat otak, yakni neuroplastisitas. “Sel-sel otak dapat mengalami regenerasi dan membentuk hubungan struktural yang baru, salah satunya karena latihan mental yang terus-menerus,” kata Taufik.
Bahasa awamnya, kata dia, apabila seseorang melakukan perbuatan baik secara terus-menerus, struktur otaknya akan berubah. Waktu yang dibutuhkan untuk mengubah sel saraf itu minimal 21 hari. Menurut Taufik, puasa adalah latihan mental yang menggunakan perantara latihan menahan kebutuhan fisik (makan, minum, seks).
...Apabila seseorang melakukan perbuatan baik secara terus-menerus, struktur otaknya akan berubah...
Selain membentuk struktur otak baru, Taufik menjelaskan bahwa puasa merelaksasi sistem saraf, terutama otak. Tetapi ada perbedaan mendasar antara relaksasi sistem pencernaan dan sistem saraf. Selama puasa, sistem pencernaan benar-benar beristirahat selama sekitar 14 jam, sementara di dalam otak orang yang berpuasa justru terjadi pengelolaan informasi yang banyak.
Contohnya, kata dia, otak dapat mengingat dengan baik di saat tenang dan rileks. Ketika tidur, biasanya orang bermimpi. Kenapa? Karena di waktu ini otak hanya menerima dan mengelola informasi yang berasal dari dalam dirinya. Di dalam Al-Quran, menurut Taufik, ada istilah an-nafsul-muthmainah (jiwa yang tenang) karena memang dalam suasana tenang orang dapat berpikir dengan baik dan memiliki kepekaan hati yang tajam. “Ketenangan membuat kita tidak reaktif menghadapi permasalahan,” katanya.
Luqman Al-Hakim pernah menasihati anaknya, “Wahai anakku, apabila perut dipenuhi makanan, maka gelaplah pikiran, bisulah lidah dari menuturkan hikmah (kebijaksanaan), dan malaslah segala anggota badan untuk beribadah.”
Otak terdiri atas triliunan sel yang terhubung satu dengan lainnya. Di dalamnya bisa disimpan 1 miliar bit memori atau ingatan. Ini sama dengan informasi dari 500 set ensiklopedia lengkap.
Di dalam otak, ada sel yang disebut sebagai neuroglial cells. Fungsinya sebagai pembersih otak. Saat berpuasa, sel-sel neuron yang mati atau sakit akan ‘dimakan’ oleh sel-sel neuroglial ini. Fisikawan Albert Einstein dikenal sebagai orang yang suka berpuasa. Ketika mendonasikan tubuhnya, para ilmuwan menemukan sel-sel neuroglial di dalam otak Einstein 73 persen lebih banyak ketimbang orang kebanyakan.
….Penelitian Universitas Harvard, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa pengaturan dan pembatasan asupan kalori meningkatkan kinerja otak...
Sebuah penelitian yang dilakukan John Rately, seorang psikiater dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa pengaturan dan pembatasan asupan kalori meningkatkan kinerja otak. Dengan alat functional Magnetic Resonance Imaging (fMRI), Rately memantau kondisi otak mereka yang berpuasa dan yang tidak. Hasilnya, orang yang shaum memiliki aktivitas motor korteks yang meningkat secara konsisten dan signifikan.
Taufik mengatakan bahwa puasa adalah salah satu bentuk tazkiyatun nafs (menumbuhkan nafsu) dan tarbiyatun iradah (mendidik kehendak). Karena itu, sejak niat puasa, perilaku selama berpuasa dan ritual-ritualnya berada dalam konteks memperbaiki nafsu, menumbuhkan, kemudian mengelola kemauan-kemauan manusia. [taz/tin]

Wallahu'alam bishawab. 

Celaka! Mati Berjihad, Rajin Sedekah & Baca Al-Quran, Tapi Masuk Neraka!

Kita pasti bertanya, kok bisa, seorang hamba yang mati di medan jihad, berilmu dan membaca al-Qur’an, serta dikenal karena kedermawanannya, tapi pada akhirnya terlempar ke neraka. Apa sebabnya? 

Assalamualaikum wr.wb.
Abu Hurairah meriwayatkan, ia pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, ”Manusia pertama yang diadili pada hari Kiamat nanti adalah orang yang mati syahid. Orang yang mati syahid didatangkan di hadapan Allah. Kemudian ditunjukkan segala kenikmatan yang telah diberikan kepadanya, dan ia mengakuinya.
Allah bertanya, “Apa yang telah kamu lakukan di dunia?”               Dia menjawab, “Aku berperang demi membela agamamu.”          Allah berkata, “Kamu bohong.Kamu berperang supaya orang-orang menyebutmu Sang Pemberani.” Kemudian Allah memerintahkan agar amalnya dihitung di hadapan pengadilan-NYa. Akhirnya ia dilempar ke neraka.
Seorang penuntut ilmu yang mengamalkan ilmunya dan rajin membaca al-Qur’an didatangkan dihadapan Allah. Lalu ditunjukkan segala kenikmatan yang telah diberikan kepadanya, dan ia mengakuinya.                                                                        Allah bertanya, “Apa yang telah kamu lakukan di dunia?”              Dia menjawab, “Aku menuntut ilmu, mengamalkannnya, dan aku membaca al-Qur’an demi mencari ridhamu.”
Allah berkata, “Kamu bohong. Kamu mencari ilmu supaya orang lain menyebutmu orang alim, dan kamu membaca al-Qur’an supaya orang lain menyebutmu orang yang rajin membaca al-Qur’an.” Kemudian Allah memerintahkan agar amalnya dihitung di hadapan pengadilan-NYa. Akhirnya ia dilempar ke neraka.
Selanjutnya, seorang yang memiliki kekayaan berlimpah dan terkenal karena kedermawanannya, didatang dihadapan Allah. Kemudian ditunjukkan segala kenikmatan yang telah diberikan kepadanya, dan ia mengakuinya.
Allah bertanya, “Apa yang telah kamu lakukan di dunia?”              Dia menjawab, “Semua harta kekayaan yang aku punya tidak aku sukai, kecuali aku sedekah karena-Mu.”                                      Allah berkata, “Kamu bohong. Kamu melakukan itu semua agar orang-orang menyebutmu orang dermawan dan murah hati.” Kemudian Allah memerintahkan agar amalnya dihitung di hadapan pengadilan-NYa. Akhirnya ia dilempar ke neraka.
Abu Hurairah berkata, “Kemudian Rasulullah menepuk pahaku seraya berkata, “Wahai Abu Hurairah, mereka adalag manusia pertama yang merasakan panasnya api neraka Jahanam di Hari Kiamat nanti.” (HR. Muslim)
Berlatih Ikhlas
Dari hadits riwayat Muslim di atas, maka keikhlasan dalam beramal menjadi hal yang sangat penting. Betapa pun seorang hamba mati di medan jihad, berilmu dan membaca al-Qur’an, bahkan dikenal karena kedermawanannya, tapi jika tidak disertai  dengan keikhlasan, maka menjadi sia-sialah amalnya.
Ternyata kata ikhlas, bukan karena bibir ini berucap ikhlas. Atau bahkan tidak berucapkan ikhlas. Boleh jadi, tanpa kita sadari, keikhlasan kita bercampur dengan riya' dan ingin menunjukkan bahwa kita adalah seorang yang pemberani, yang berilmu, dan dermawan.
Orang bijak berkata, “Orang yang ikhlas adalah orang  yang menyembunyikan kebaikannya, seperti dia menyembunyikan kejelekannya. Keikhlasan niat dalam amalmu lebih bermakna daripada amal itu sendiri.”
Ma’ruf al-Karkhi sampai memukul dirinya sendiri sambil berkata, “Wahai jiwa, ikhlaslah! Maka kamu akan bahagia.”
Yahya bin Mu’adz berkata, “Ikhlas adalah memisahkan amal dari cacat seperti terpisahnya susu dari kotoran dan darah.”
Yusuf bin Husain berkata, “Sesuatu yang paling mulia di dunia ini adalah ikhlas. Berapa besar kesungguhanku untuk mengeluarkan pamer dari dalam hati, namun sepertinya ia menetap di hati dalam bentuknya yang lain.”
Setiap kali Ayyub as-Sakhtiyani  berbicara, ia mengusap wajahnya sambil berkata, “Aku terserang demam.” Padahal ia takut pamer dan ujub. Dia takut kalau orang-orang berkata tentang dirinya seperti ini. Dia menangis karena takut pada Allah.
Seorang ulama mengatakan, “Jika Allah tidak suka kepada seseorang, maka Allah memberinya tiga hal da menghalanginya dari tiga hal. Pertama, Allah memberi dia teman yang saleh, namun dirinya tidak menjadi orang saleh. Kedua, Allah memberi dia amal saleh, namun dia tidak ikhlas menjalankannya. Ketiga, Allah memberi dia hikmah, namun dia tidak mempercayainya.”
Hakikat Riya
Riya' itu berasal dari kata ru’yah (melihat), sedanghkan sum’ah (ketenaran) berasal dari kata Samaa’ (mendengar). Riya’ adalah ingin dilihat orang-orang supaya mendapat kedudukan. Riya’ itu tersamar seperti jalannya semut. Termasuk riya’, yaitu orang yang berpura-pura zuhud, berjalan memaksa diri untuk bersikap tenang dan bersikap lemah-lembut.
Dalam ringkasan Ihya Ulumuddin, Imam al Ghazali menegaskan, riya itu haram dan pelakunya dibenci oleh Allah Swt. Hal itu ditunjukkan dalam QS. Al-Ma’un: 4- 6: “Maka, celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. Orang-orang yang berbuat riya.”
Seorang sahabat Nabi Saw bertanya, “Ya Rasulullah, dengan apa kita selamat?”                                                                      Rasulullah menjawab, ”Bila manusia tidak mengamalkan ketaatan kepada Allah swt demi mengharap pujian orang-orang.”        
Nabi Saw bersabda, “Sesungguhnya yang paling ditakutkan atas kamu adalah syirik kecil.”                                                         Sahabat bertanya, “Apakah syirik kecil itu, ya Rasulullah?                Beliau menjawab, “Riya.”
Lalu Allah Swt berkata di Hari Kiamat ketika membalas manusia-manusia atas amal-amal mereka: “Pergilah (kamu) kepada orang-orang dulu kamu berbuat riya terhadap mereka di dunia. Lihatlah apakah kamu mendapat balasan dari mereka?”
Dalam hadits yang lain, Rasulullah bersabda, “Berlindunglah kamu dengan Allah dari jubbul huzun (lembah duka).                      Sahabat bertanya, “Apa itu ya Rasulullah?’                                  Nabi Saw menjawab, “Sebuah lembah di neraka Jahanam yang disediakan bagi para pembaca Al-Qur’an yang berbuat riya.”

Wallahu'alam bishawab.

source: voa-islam.com 

7 Spirit Kemenangan Ramadhan

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (البقر 183
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. Al Baqarah: 183).

Assalamualaikum wr.wb.

Ayat ini menggambarkan urgensi ibadah puasa di bulan Ramadhan. Kata kutiba menunjukkan makna bahwa ibadah puasa di bulan Ramadhan adalah wajib. Wajib karena itu kebutuhan fitrah manusia. Allah swt. yang meciptakan manusia , Dialah yang lebih tahu hakikat fitrah ini. Dan Dialah yang lebih tahu rahasia diwajibkannya puasa. Karena itu tidak ada pilihan lain bagi manusia kecuali harus berpuasa. Karena itu pula Allah berfirman: kamaa kutiba ‘alalladziina min qablikum. Artinya bahwa manusia terdahulu juga diwajibkan berpuasa.
Sudah pasti bahwa Allah swt. tidak mungkin mensyari’atkan sesuatu yang tidak ada gunanya. Sebab Allah swt. Maha Bijak, Allah berfirman: alaisallahu bi ahkamil haakimiin. Sudah pasti bahwa semua ibadah yang Allah swt. ajarkan jika benar-benar dilaksanakan oleh manusia, akan membawa manfaat yang agung bagi manusia itu sendiri. Dalam berbagai peristiwa sejarah di zaman Rasulullah saw. kita selalu membaca bahwa kemenangan demi kemenangan justru terjadi di saat-saat umat sedang berpuasa di bulan Ramadhan. Ada apa dengan Ramadhan? Inilah alasan mengapa tulisan ini secara khusus akan mengungkap rahasia kemenangan dan hubungannya dengan Ramadhan. Setidaknya ada tujuh spirit kemenangan Ramadhan yang bisa diangkat dalam tulisan ini:

Pertama, Kemenangan Atas Nafsu
Dalam kata ashiyam pada ayat di atas terkandung makna alhabsu artinya menahan. Seorang yang berpuasa pasti sedang menahan nafsu dengan segala dimensinya. Bukan hanya nafsu makan dan minum, melainkan juga nafsu hubungan seks dan nafsu memandang yang haram. Perhatikan diri anda ketika sedang berpuasa. Apa yang anda tahan? Bukankah anda sedang menahan diri dari yang halal? Makan dan minum itu halal bagi anda. Berhubungan seks dengan istri anda itu juga halal. Tetapi anda tahan. Dan anda mampu menahannya. Apa makna semua ini? Di sini nampak bahwa anda sedang bertarung dengan nafsu anda. Anda sedang berusaha mengendalikannya. Sekalipun nafsu itu meronta-ronta memanggil anda untuk makan di siang hari yang panas, anda tetap mengendalikannya sampai tiba adzan maghrib. Bila ternyata anda mampu melakukan ini, sungguh tidak ada alasan bagi anda untuk terjatuh kepada yang haram, hanya karena godaan nafsu.
Tapi sayangnya banyak orang yang hanya menjadikan puasa sekedar ritual yang mati. Mati karena hakikat puasa yang sebenarnya untuk menahan nafsu, ternyata itu hanya dilakukan di bulan Ramadhan saja. Begitu habis Ramadhan, tidak sedikit dari mereka yang tadinya berpuasa kembali merasa bebas untuk berbuat dosa. Akibatnya puasa Ramadhan tidak membawa makna apa-apa bagi hidupnya. Ibarat seorang yang makan, begitu makanan di telan setelah itu dimuntahkan lagi. Tentu cara hidup berIslam seperti ini tidak akan memberi buah sama sekali bagi kehidupan ruhaninya. Karena itulah makna puasa yang seharusnya menjadi titik tolak kemenangan atas hawa nafsu, itu harus tetap dipertahankan sepanjang hayat, sebab hanya demikian hakikat ritual akan menjadi seperti air yang disiramkan terhadap sebuah pohon. Maka pohon itu akan menjadi tumbuh subur, akarnya menghunjam ke bumi dan tangkainya menjulang ke langit. Setiap orang yang berteduh dibawahnya tidak hanya akan merasa sejuk melainkan juga akan merasa aman dengan rindangnya.

Kedua, Kemenangan Atas Setan
Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa ketika tiba Ramdhan, syetan-syetan diikat. Nabi saw. bersabda: “Bila Ramadhan tiba, pintu-pintu surga dibuka, dan pintu-pintu neraka ditutup, sementara syetan-syetan diikat.” (HR. Bukhari-Muslim). Ini menunjukkan bahwa iman umat Islam di bulan Ramadhan harus meningkat. Karena itu kita selalu menemukan suasana yang berbeda di bulan Ramadhan. Orang yang tadinya malas shalat berjemaah di masjid, selama Ramadhan ia rajin ke masjid. Orang yang tadinya tidak pernah membaca Al Qur’an, selama Ramadhan selalu membacanya. Orang yang tadinya kikir bersedekah, selama Ramadhan menjadi dermawan. Orang yang tadinya tidak pernah bangun waktu fajar, selama Ramadhan selalu bangun fajar dan shalat subuh berjemaah di masjid. Orang yang tadinya tidak pernah shalat malam, selama Ramadhan rajib shalat malam. Orang yang tadinya mempertontonkan aurtanya, selama Ramadhan menjadi wanita anggun di balik jilbab yang indah.
Suasana seperti ini menggambarkan betapa Ramadhan benar-benar membawa keberkahan bagi umat Islam. Terasa bahwa syetan benar-benar diikat. Syetan tidak bisa bergerak secera leluasa. Mengapa? (a) Nabi saw.: wash shawmu junnatun (puasa adalah penangkal dari dosa dan api neraka). Lalu nabi melanjutkan : “Maka ketika kalian berpuasa hendaklah jangan berkata kotor dan tidak mengumpat. Bila ada orang mencaci katakan kepadanya: maaf aku sedang berpuasa…” (HR. Bukhari-Muslim) (b) Karena nafsu selama bulan puasa dikendalikan. Begitu nafsu terkendali syetan tidak punya jaringan untuk bergerak. Begitu jaringanya menjadi sempit, amal-amal shaleh meningkat di mana-mana. Begitu amal shaleh meningkat otomatis iman akan naik. Sayangnya pemandangan ini hanya berlangsung sekejap. Selama bulan Ramadhan saja. Setelah itu kehidupan yang penuh kemenangan kembali lenyap dalam gelora nafsu. Dosa-dosa kembali dilakukan di mana-mana tanpa merasa takut sedikit pun. Jika memang demikian, benarkah kemenangan atas syetan selama Ramadhan adalah kemenangan sejati? Sampai kapan umat ini akan terus berpura-pura kepada Allah swt., menjadi hanya seorang muslim yang baik di bulan Ramadhan saja?

Ketiga, Pahala Dilipatgandakan
Dalam sebuah hadist Rasulullah saw. bersabda: “Setiap amal anak Adam -selama Ramadhan- dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat, bahkan sampai tujuh ratus kali lipat. Kecuali puasa, Allah berfirman: Puasa itu untuk-Ku, dan Aku langsung yang akan memberikan pahala untuknya.” (HR. Muslim). Maksudnya bahwa pahala puasa bukan hanya dilipatgandakan melainkan lebih dari itu, Allah swt berjanji akan memberikan pahala tanpa batas. Bayangkan berapa pahala yang akan didapat seseorang sepanjang hari berpuasa, bersedekah, menegakkan amal-amal wajib lalu dilanjutkan dengan amal-amal sunnah. Di mana semua itu dilipatgandakan tujuh ratus kali lipat.
Bagaimana jika seorang muslim membaca Al Qur’an dalam sehari lebih dari satu juz. Rasulullah saw. menerangkan bahwa pahala membaca Al Qur’an hitungannya perhuruf. Setiap huruf satu kebaikan, dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat. Itulah rahasia, mengapa para ulama terdahulu begitu masuk Ramadhan mereka belomba-lomba mengkhatamkan Al Qur’an tanpa batas. Ada yang mengkhatamkan sehari sekali. Ada yang sehari dua kali. Yang selalu saya baca dalam manaqib Imam Syafi’ie adalah bahwa ia selalu mengkhatamkan Al Qur’an selama Ramadhan 60 kali khatam. Apa yang menarik di sini bukan logis atau tidaknya, melainkan kesungguhan mereka dalam mengkhatamkan Al Qur’an. Itulah spirit yang harus kita ambil. Bahwa akan menilai amal shaleh kita dari segi kwantitas melainkan dari usaha maksimal yang kita lakukan. Inilah makna ayat: “Fattaqullaha mas tatha’tum (maka bertaqwalah kepada Allah semaksimal kemapuanmu)” (QS. At Taghabun:16)

Keempat, Dosa-Dosa Diampuni
Minimal ada tiga ibadah dalam Ramadhan yang secara tegas Rasulullah saw. mengkaitkan dengan ampunan dosa-dosa terdahulu: Pertama, ibadah puasa. Nabi saw. bersabda: “Man shaama Ramadhaan iimaanan wah tisaaban ghufira lahu maa taqaddama min dzambihi. (Siapa yang berpuasa Ramadhan dengan kesadaran iman dan penuh harapan ridha Allah, akan diampuni semua dosa-dosa yang lalu.” (HR. Bukhari-Muslim). Kedua, ibadah shalat malam (baca: tarawih). Nabi saw. bersabda: “Man qaama Ramadhana iimaanan wah tisaaban ghufira lahu maa taqaddama min dzambihi. (Siapa yang menegakkan shalat malam Ramadhan dengan kesadaran iman dan penuh harapan ridha Allah, akan diampuni semua dosa-dosa yang lalu.” (HR. Bukhari-Muslim). Ketiga, Ibadah shalat malam lailatul qadr. Nabi saw. bersabda: “Man qaama lailatal qadri iimaanan wah tisaaban ghufira lahu maa taqaddama min dzambihi. (Siapa yang menegakkan shalat malam pada malam lailatul qadr dengan kesadaran iman dan penuh harapan ridha Allah, akan diampuni semua dosa-dosa yang lalu.” (HR. Bukhari-Muslim).
Perhatikan ketiga hadits di atas, betapa ibadah Ramadhan yang akan menjadi penyebab ampunan dosa bukan hanya puasa, melainkan ada juga ibadah shalat malam sepanjang Ramadhan termasuk pada malam lailatul qadr. Tetapi sayangnya banyak orang Islam hanya mengambil puasanya saja, sementara ibadah-ibadah lain yang tidak kalah pentingnya dengan puasa diabaikan. Akibatnya tujuan Ramadhan yang sebenarnya merupakan bulan ampunan dosa, tidak tercapai secara maksimal. Banyak orang beralasan sibuk mencari nafkah dan lain sebaginya, sehingga tidak sempat memaksimalkan semuanya itu. Perhatikan Rasulullah saw. sekalipun hari-harinya sibuk berdakwah, pada bulan Ramadhan masih menambah lagi amal-amal ibadah yang melebihi hari-hari biasanya. Apakah cukup dengan hanya beralasan bahwa mencari nafkah juga ibadah, lalu mengabaikan membaca Al Qur’an, shalat malam dan lain sebagainya?

Kelima, Doa-doa Dikabulkan
Seorang yang sedang berpuasa doanya mustajab. Sebab ia sedang dalam kondisi menahan nafsu. Syetan-syetan tidak mendekatinya. Karenanya ia lebih dekat kepada Allah swt. Ketika ia dalam kondisi sangat dekat kepada Allahswt., maka doanya akan mudah diterima. Karena itu Nabi saw. menganjurkan agar orang-orang yang sadang berpuasa banyak-banyak berdoa. Para ulama mengatakan: Disunnahkan bagi orang yang sedang berpuasa selalu mengucapkan dzikir, memanjatkan doa, sepanjang hari selama berpuasa. Sebab puasa membuat pelakunya semakin dekat kepada Allah swt. Orang-orang yang dekat kepada Allah swt. doanya mustajab.
Berdzikir dan berdoa selama puasa memang sangat dianjurkan sepanjang hari. Tetapi berdzikir dan berdoa pada saat menjelang buka puasa sangat ditekankan dan diutamakan. Nabi saw. bersabda: “Orang yang berpuasa doanya tidak ditolak, terutama menjelang berbuka.” (HR. Ibn Majah, sanad hadits ini sahih). Ibn Umar ra. meriwayatkan bahwa Nabi saw. menjelang buka puasa selalu berdoa: “Dzahabazh zhomau wabtallatil ‘uruuq watsabatil ajru insyaa allahu ta’aalaa. (Dahaga telah pergi, kerongkongan telah basah, semoga Allah memberikan pahala). Abdullah bin Amru ra. selalu membaca doa berikut ini sebelum buka puasa: “Allahumma as’aluka birohmatikallati wasi’at kulla syai’ antaghfira lii dzunuubii. (Ya Allah aku mohon kepada-Mu dengan rahmat-Mu yang mencakup segala sesuatu, agar Kau ampuni aku.”
Imam At Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah, Nabi saw. bersabda: “Tiga orang yang doanya tidak pernah ditolak: Pemimpin yang adil, seorang yang sedang berpuasa sampai ia berbuka, orang yang dizholimi.” Jelasnya bahwa selama puasa Ramadhan iman hamba-hamba Allah swt. sedang naik, mereka selalu bangun malam menegakkan shalat, mereka selalu membaca Al Qur’an, mereka selalu bersedekah, mereka jauh dari dosa-dosa, mereka bertobat minta ampunan kepada Allah swt. dan sebagianya. Semua itu merupakan suasana yang dukung-dukung membuat turunnya keberkahan dari Allah swt. Semakin banyak keberkahan yang turun semakin mudah doa yang kita panjatkan dikabulkan oleh Allah swt.

Keenam, Raih Lailatul Qadr
Dalam surah Al Qadr: 3-5 Allah swt. menerangkan keagungan malam lailatul qadr: “Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” Inilah malam yang sangat Allah swt. agungkan. Pada malam lailatul qadr ini Allah swt. pernah menurunkan Al Qur’an. Bukan hanya itu, setiap malam lailatul qadr Allah memberikan kesempatan kepada hamba-hamba-Nya untuk menutupi kekurangan masa lalunya dengan beribadah menegakkan shalat, berdzikir dan membaca Al Qur’an. Bayangkan pahalanya khsusus dan luar biasa. Tidak bisa dibandingkan dengan pahala beribadah selama 1000 bulan. Kata khirun pada ayat di atas menunjukkan makna lebih baik, bukan sama. Perhatikan betapa keutamaan ibadah pada malam lailatul qadr hendaklah diraih dengan sungguh-sungguh.
Perhataikan kata khairun min alfi shahrin (lebih baik dari seribu bulan). Imam Ibn Katsir dalam tafsirnya, pernah melakukan hitung-hitungan tentang hakikat seribu bulan itu. Beliau mengatakan: 1000 bulan = 84 tahun 3 bulan. Saya mencoba merenungkan hakikat ini. Saya menemukan betapa angka tersebut menggambarkan usia terpanjang rata-rata manusia. Artinya, bila kita pikir-pikir ayat tersebut, kita akan segera mengambil kesimpulan bahwa beribadah pada malam lailatul qadr masih lebih hebat pahalanya dibanding dengan pahala ibadah sepanjang hidup. Tetapi maksudnya di sini bukan lantas mencukup dengan ibadah pada malam lailatul qadr kalau setelah itu tidak beribadah sepanjang hayat? Ini salah. Itu maksudnya adalah (a) bahwa kita secara normal menyadari bahwa masih banyak ibadah yang kurang maksimal, atau bahkan sangat kurang. Perlu adanya back up pahala, untuk menutupi kekurangan-kekurangan itu. (b) Kita seharusnya -selama hidup- selalu beribadah kepada Allah swt. untuk menutupi nikmat-nikmat-Nya yang tidak pernah putus. Tetapi karena kesibukan yang demikian banyak, serta kelemahan iman yang kita punya, tentu banyak kondisi yang tidak bisa dipenuhi. Allah swt. yang Maha Pengasih memberikan peluang agar kita bisa mengimbangi nikmat-nikmat tersebut. Karenanya dibukalah malam lailatul qadr.
Rasulullah saw. memberikan tuntunan agar lailatul qadr itu diburu pada sepuluh malam terakhir Ramadhan. Terutama malam-malam ganjil: 21, 23, 25, 27, 29. Banyak para sahabat dan para ulama yang menekankan secara khusus malam tangga 27 Ramadhan. Tetapi demikian, mereka menganjurkan agar tidak mencukupkan hanya dengan malam tanggal 27 saja. Sebab tidak mustahil malam lailatul qadr itu akan terjadi pada malam-malam lainnya. Karena itu handaknya seorang hamba Allah swt. selalu bangun setiap malam. Karena tidak ada yang tahu pasti kapan dan tanggal berapa sebenarnya lailatul qadr itu terjadi. Karena itu sebagian sahabat mengatakan: Siapa yang yang bangun menegakkan shalat setiap malam sepanjang tahun ia pasti dapat keistimewaan lailatul qadr.
Sebenarnya lailatul qadr ini adalah suatu kesempatan yang sangta istimewa dan sangat mahal. Seharusnya setiap orang yang beriman bersungguh-sungguh untuk meraihnya. Seharusnya mereka sejak dini sudah bersiap-siap dengan segala daya upaya untuk mendapatkannya. Seperti mereka berdaya upaya untuk meraih medali dalam sebuah olimpiade. Seharusnya mereka menyesal seumur hidupnya ketika tidak terlibat dalam perlombaan ini. Padahal Allah swt. telah berfirman: “Fastabiqul khairaat (berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan.” (QS. Al Baqarah:148). Tetapi sayangnya banyak orang beriman tidak tertarik dengan perlombaan. Bahkan banyak dari mereka yang cuek dan tidak terpanggil untuk mempersiapkan diri supaya mendapatkannya. Pun tidak sedikit yang tidak menyesal karena tidak kebagian keberkahannya. Apakah mereka telah merasa kebanyakan pahala, sehingga merasa cukup dengan pahala amal yang selama ini mereka kerjakan? Coba pikirkan seberapa persenkah pahala yang kita dapatkan dibanding dengan pahala para sahabat Nabi saw.? Nabi saw. bersabda: “Janganlah kau mengejek sahabat-sahabatku, demi Allah seandainya kau infakkan emas sebasar gunung Uhud, pahala yang kau dapatkan itu tidak akan mencapai segenggam atau separuhnya dari pahala yang mereka dapatkan.” Perhatikan sedemikian agungnya pahala para sahabat itu, itu pun mereka masih berlomba-lomba meraih malam lailatul qadr.

Ketujuh, Kejar Level Taqwa
Ayat tentang puasa di atas, ditutup dengan la’allakum tattaquun (agar kamu bertaqwa). Artinya bahwa tujuan utama puasa Ramadhan adalah untuk membangun kesadaran taqwa dalam pribadi seorang muslim. Taqwa seperti yang dikatakan Ubay bin Ka’ab ra. kepada Umar bin Khaththab adalah: “Bahwa orang yang betaqwa itu seperti orang berjalan di tempat yang banyak durinya. Kanan-kiri, bawah-atas ada duri.” Bayangkan apa yang dia lakukan? Tentu ia sangat berhat-hati, jangan sampai duri itu menggores tubuhnya. Begitu juga taqwa. Anda berhati-hati dari pandangan yang haram seperti anda berhati-hati dari duri, itu taqwa. Anda berhat-hati dari harta haram, jangan sampai barang itu masuk ke perut anda, atau ke perut istri dan anak anda, seperti anda berhati-hati dari duri, itu takwa. Anda berhati-hati dari dosa-dosa kecil apalagi besar seperti anda berhat-hati dari duri, itu taqwa.
Perhatikan betapa taqwa merupakan totalitas kehati-hatian seorang hamba dalam menjalankan ketaatan kepada Allah swt., jangan sampai sedikit pun dari apa yang dia lakukan dimurkai Allah swt. Itulah rahasia mengapa Allah swt. mengikat pada ayat di atas antara puasa (ash shiyam) dengan taqwa. Sebab ketika seseorang berpuasa dia telah mengendalikan nafsunya. Dan hanya dengan mengendalikan nafsu, seseorang secara bertahap akan naik ke level taqwa. Karena itu dalam Al Qur’an masalah taqwa merupakan tema sentral. Katika Allah swt. menceritakan pedihnya siksaan neraka itu sebenarnya supaya orang bertaqwa. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6). Begitu juga ketika Allah swt. menceritakan keindahanya surga dan kelezatan makanan dan minuman di dalamnya, itu tidak lain supaya manusia bertaqwa.
Lebih dari itu, banyak ayat dalam Al Qur’an yang menekankan pentingnya bersikap taqwa: (a) Di pembukaan surah Al Baqarah, Allah swt. langsung menceritakan sifat-sifat orang yang bertaqwa. (b) Dalam surah Ali Imran:133, Allah swt. menegaskan bahwa surga dipersipakan untuk mereka yang bertaqwa: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (c) Dalam surah Al Hujuraat: 3, Allah swt. menunjukkan bahwa paling mulainya manusia adalah orang-orang yang paling bertaqwa. (d) Dalam surah Al Qashash:83, Allah swt. menerangkan bahwa kemenangan itu hanya milik orang-orang yang betaqwa: “Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” Dalam surah Al Qalam:34, lagi-lagi Allah menceritakan indahnya surga yang dipersipakan untuk mereka yang bertaqwa: “Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa (disediakan) surga-surga yang penuh kenikmatan di sisi Tuhannya.”

Penutup
Jelasnya, Ramadhan adalah nikmat agung, sekaligus tamu agung yang datang setahun sekali. Di dalamnya banyak kesempatan bagi orang-orang beriman untuk meningkatkan iman dan mencucikan dosa-dosa dengan memohon ampun kepada Allah swt. tidak hanya puasa, banyak ibadah Ramadhan yang diajarkan Allah swt. dan Rasul-Nya yang tidak kalah pentingnya dengan ibadah puasa. Seperti ibadah shalat malam, i’tikaf, banyak bersedekah, mengkhatamkan Al Qur’an dan lain sebagainya. Siapa yang bersungguh-sungguh melaksanakan semua itu, kemenangan pasti akan dia capai. Sebaliknya siapa yang mengabaikan semua itu, dia sendiri yang rugi. Ingat bahwa tidak ada yang bisa menjamin bahwa seseorang bisa hidup sampai ke Ramadhan tahun depan. Karena itu, ketika ternyata kita diberi kesempatan memasuki Ramadhan tahun ini, janganlah sekali-kali disia-siakan. Segeralah bergegas untuk beramal. Segeralah bersungguh-sungguh untuk menggunakan kesempatan ini secara maksimal. Semoga Allah swt. menerima amal kita semua. Aamiin. Wallahu a’lam bishshawab.


source: dakwatuna.com

Tilawah dan Ramadhan

Assalamualaikum wr.wb.


Pasti kita semua sudah tahu sabda Rasulullah SAW ini: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” Karena itu Rasulullah SAW memperbolehkan kita untuk iri kepada mereka. “Tidak boleh iri kecuali kepada dua orang, yaitu orang yang dianugerahi Al-Qur’an oleh Allah, lalu ia membacanya ketika menunaikan shalat di waktu malam dan siang hari; dan orang yang diberi harta lalu ia menyedekahkannya di waktu malam dan siang hari.”
Tentu saja rasa iri yang dimaksud Rasulullah SAW bukan dalam bentuk ekspresi negatif, tapi meniru apa yang dilakukan oleh manusia-manusia terbaik itu: belajar dan mengajarkan Al-Qur’an. Bahkan Rasulullah SAW sangat menghargai orang yang berusaha mengikuti jejak orang-orang terbaik itu meski belum sempurna dalam membaca Al-Qur’an. Kata Rasulullah SAW, “Orang yang membaca Al-Qur’an dan ia pandai membacanya, beserta para malaikat pembawa catatan amal, yang suci dan berbakti. Dan orang yang membaca Al-Qur’an dengan gagap dan ia kesulitan dalam membacanya, maka ia mendapatkan dua pahala.”
Rasulullah SAW juga menimbang seseorang dari kedekatannya dengan Al-Qur’an. Beliau membuat perumpamaan, “Perumpamaan seorang mukmin yang membaca Al-Qur’an adalah seperti buah atrujah, baunya harum dan rasanya enak. Dan perumpamaan seorang mukmin yang tidak membaca Al-Qur’an adalah seperti buah kurma, ia tidak beraroma tapi rasanya manis. Sedangkan perumpamaan orang munafik yang membaca Al-Qur’an adalah seperti bunga wangi-wangian, baunya wangi tapi rasanya pahit. Dan perumpamaan orang munafik yang tidak membaca Al-Qur’an adalah seperti buah hanzalah, ia tidak beraroma dan rasanya pahit.”
Dikali yang lain Rasulullah SAW menegaskan bahwa, “Sesungguhnya orang yang di dalam dirinya tidak ada sedikit pun Al-Qur’an, maka ia bagaikan rumah yang rusak.” Karena itu, Rasulullah SAW menganjurkan kepada kita untuk senantiasa berinteraksi dengan Al-Qur’an baik sendiri maupun bersama-sama. Rasulullah SAW bersabda, “Jika suatu kaum berkumpul di dalam satu rumah Allah dan membaca Al-Qur’an serta mempelajarinya secara bersama-sama, niscaya turun ketenangan kepada mereka. Mereka dilingkupi oleh rahmat, dikelilingi oleh para malaikat, dan Allah menyebut mereka kepada makhluk-makhluk-Nya yang ada di sisi-Nya.”
Tidak hanya di dunia bekas interaksi kita dengan Al-Qur’an kita rasakan. Rasulullah SAW bersabda, “Pada hari Kiamat akan didatangkan Al-Qur’an dan para ahlinya yang ketika di dunia mengamalkannya. Mereka didahului oleh surat Al-Baqarah dan Ali Imran, keduanya membela orang-orang yang membaca dan mengamalkannya.”
Dan, surga tingkat apa yang akan kita tinggali di akhirat nanti pun ditentukan oleh banyak sedikitnya hafalan Al-Qur’an kita. Rasulullah berkata, “Ketika di surga dikatakan kepada orang-orang yang hafal Al-Qur’an, ‘Bacalah, naiklah dalam derajat surga dan bacalah dengan tartil sebagaimana engkau membacanya di dunia, sesungguhnya kedudukanmu adalah di akhir ayat yang engkau baca.”
Karena itu Rasulullah SAW memerintahkan kepada kita untuk menjaga hafalan Al-Qur’an. “Selalu jagalah Al-Qur’an ini, demi Zat yang jiwaku berada dalam genggamanNya, sungguh Al-Qur’an itu lebih mudah lepas daripada unta yang ada dalam ikatannya.” Rasulullah SAW menegaskan bahwa, “Sesungguhnya orang yang hafal Al-Qur’an bagaikan pemilik unta yang terikat. Jika ia selalu menjaganya, maka ia memegangnya. Sedangkan jika membiarkannya, maka unta tersebut akan lepas dan kabur.”
Pahala Tilawah di Bulan Ramadhan
Di bulan Ramadhan ini kita diminta oleh Rasulullah SAW untuk berpuasa dengan ihtisaban seperti dalam sabdanya, “Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuhi keimanan dan ihtisaban, Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” Ihtisaban maksudnya penuh perhitungan. Berhitung seperti seorang pedagang mengkalkulasi berapa keuntungan yang ingin didapat dari dagangannya. Kenapa Rasulullah SAW meminta kita berhitung dalam berpuasa di bulan Ramadhan? Karena Ramadhan bulan mega bonus!
Kita tentu sudah tahu bahwa membaca Al-Qur’an satu huruf akan diberi pahala oleh Allah SWT 10 point. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa membaca satu huruf dari Al-Qur’an, maka ia mendapatkan satu kebaikan, dan satu kebaikan sebanding dengan sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan Alif Laam Miimadalah satu huruf, tetapi alif satu huruf, laam satu huruf, dan miim satu huruf.”
Tapi, khusus di bulan Ramadhan pahalanya dilipatgandakan oleh Allah menjadi 70 kali lipat. Setidaknya hal itu di surat pada hadits cukup panjang ini. “Wahai manusia, telah datang kepada kalian bulan yang agung dan penuh berkah. Di dalamnya terdapat satu malam yang nilai (ibadah) di dalamnya lebih baik dari 1000 bulan. Allah menjadikan puasa pada siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan menghidupkan malamnya sebagai perbuatan sunnah (tathawwu’). Barangsiapa (pada bulan itu) mendekatkan diri (kepada Allah) dengan satu kebaikan, ia seolah-olah mengerjakan satu ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa yang mengerjakan satu perbuatan wajib, ia seolah-olah mengerjakan 70 kebaikan di bulan yang lain. Ramadhan adalah bulan kesabaran, dan kesabaran itu balasannya surga. Ia (juga) bulan tolong-menolong, di mana di dalamnya rezki seorang Mukmin bertambah (ditambah). Barangsiapa (pada bulan itu) memberikan buka  kepada seorang yang berpuasa, maka itu menjadi maghfirah (pengampunan) atas dosa-dosanya, penyelamatnya dari api neraka dan ia memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa (itu) sedikit pun.”
Kemudian para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, tidak semua dari kami memiliki makanan untuk diberikan sebagai buka orang yang berpuasa.” Rasulullah SAW berkata, “Allah memberikan pahala tersebut kepada orang yang memberikan buka dari sebutir kurma, atau satu teguk air atau susu. Ramadhan adalah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan), dan akhirnya pembebasan dari api neraka.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi, Al Hakim, Ibnu Khuzaimah, dan Al-Ash-habani dalam At Targhib. Namun, didhaifkan oleh Al-Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib dan Dhiya Al-Maqdisi di Sunan Al-Hakim. Al-Albani dalam Silsilah Adh-Dhaifah mengkategorikan ini hadits munkar.
Jika kita tidak bisa menggunakan kelipatan pahala 70 kali atas tilawah yang kita kerjakan di bulan Ramadhan, mungkin kita bisa menggunakan hadits shahih yang diriwayatkan Imam Muslim ini: “Sesungguhnya Allah mencatat setiap amal kebaikan dan amal keburukan.”Kemudian Rasulullah SAW menjelaskan, “Orang yang meniatkan sebuah kebaikan, namun tidak mengamalkannya, Allah mencatat baginya satu pahala kebaikan sempurna. Orang yang meniatkan sebuah kebaikan lalu mengamalkannya, Allah mencatat pahala baginya 10 sampai 700 kali lipat banyaknya.”
Jadi, ketika membaca ayat pertama surat Al-Baqarah yang terdiri dari 3 huruf, yaitu alif lam mim, kita punya potensi mendapat puasa antara 3 x 10 = 30 sampai 3 x 700 = 2.100.
Menurut penelitian Imam an-Nasafi yang dicatatkan dalam kitab Majmu Al-Ulum Wa Mathliu An-Nujum dan dikutip Imam Ibn Arabi dalam mukaddimah Al-Futuhuat Al-Ilahiyah, Al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 114 surah, 6.236 ayat, dan 1.027.000 huruf. Jadi, jika berhasil mengkhatamkan tilawah Al-Qur’an sekali saja, kita akan dapat pahala sebesar 1.027.000 x 700 = 718.900.000.
Rasulullah SAW memberi batas bawah bagi seorang muslim dalam hal tilawah adalah minimal khatam Al-Qur’an sekali dalam sebulan. Tapi, muslim yang cerdas tentu tidak merasa cukup Cuma khatam sekali di bulan Ramadhan. Kalau cuma sekali ya rugi karena tidak beda dengan bulan-bulan yang lain. Jadi, harus bisa khatam lebih dari dua kali.
Terlebih lagi ketika Lailatul Qadar. Jangan sampai tidak tilawah di malam itu. Allah SWT menyatakan bahwa nilai Lailatul Qadar lebih baik daripada 1.000 bulan atau setara dengan 354.000 kali malam biasa. “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada Lailatul Qadar (malam kemuliaan). Dan tahukah kamu apakah Lailatul Qadar itu? Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan.”
Berapa pahala yang bisa kita peroleh jika membaca 1 juz Al-Quran pada saat Lailatul Qadar? Jika kita asumsikan jumlah huruf dalam setiap juz sama, maka angkanya kira-kira 1.027.000 : 30 = 34.233 huruf. Jumlah potensi pahala yang bisa kita dapat di malam itu adalah 34.233 x 700 x  354.000 = 8.482.937.400.000. Subhanallah, angkanya triliunan!
Surat Al-Qadr turun karena suatu saat Rasulullah SAW menceritakan kepada para sahabat tentang seseorang dari Bani Israil yang berjuang fii sabilillah menggunakan senjatanya selama seribu bulan terus menerus. Laki-laki itu selalu beribadah pada malam hari hingga pagi dan di siang harinya berjihad memerangi musuh.
Para sahabat kagum sekaligus iri kepada lelaki itu. Allah memberi kesempatan kepada lelaki itu selama 1.000 bulan untuk konsisten beribadah dan berjihad. Sementara, para sahabat banyak yang masuk Islam pada umur tidak muda lagi. Sementara potensi usia hidup umat Nabi Muhammad SAW hanya 60 tahun. Jadi, para sahabat merasa tidak mungkin menyamai ibadah yang dilakukan oleh lelaki dari Bani Israil yang diceritakan Rasulullah SAW.
Allah Maha Adil. Allah SWT memberikan Lailatul Qadar kepada umat Nabi Muhammad SAW. Jika kita beribadah saat Lailatul Qadar, Allah SWT menggandakan nilainya menjadi 354.000 kali lipat. Tilawah satu juz dapat pahala 8.482.937.400.000. Kalau 3 juz, 25.448.812.200.000! Maka merugilah orang yang tidak memperbanyak tilawah saat Lailatul Qadar.

Wallahualam biswab.

source: dakwatuna.com